<head> Warna- Warni Pemikiran Dalam Tubuh NU ( Nahdlatul Ulama)

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Artikel (31) bacaan (14) Berita (29) ekonomi. (1) Film (6) Keilmuan (17) Keislaman (37) Opini (77) Pemilu (6) PMII (14) POLITIK (6) Puisi (2) Warta (39)

Warna- Warni Pemikiran Dalam Tubuh NU ( Nahdlatul Ulama)

Selasa, September 21 | September 21, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2023-10-26T22:57:47Z

 Pasca Gus Dur, setidaknya ada tiga pemikir NU yang merepresentasikan warna warni pemikiran Islam dalam tubuh NU, yaitu Ulil Abshar Abdalla, Masdar F. Masudi, dan Ahmad Baso. Ada satu lagi pemikir muda NU yang muncul belakangan, yang cukup menonjol, yaitu Asep Salahudin. Tapi yang disebut terakhir tidak akan menjadi perhatian dalam catatan ringan ini karena rektor IALM Suryalaya ini sebagai the next generation dalam tubuh NU pasca ketiga pemikir ini dan lebih concern pada kebudayaan dan mistisime.

Ulil Abshar Abdalla mengusung Liberalisme Islam, Masdar F. Masudi menghadirkan Islam Transformatif, sementara Ahmad Baso mengusung Post-Tradisionalisme Islam. Diantara ketiganya, yang mendapatkan perhatian publik, secara berturut-turut, tentu saja Ulil Abshar Abdallah, Masdar F. Masudi, baru Ahmad Baso.



Ulil Abshar Abdalla pernah menghebohkan jagat Indonesia melalui tulisannya “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” yang dimuat di Kompas. Seperti kekhasannya, pemikiran-pemikiran Ulil hanya curhatan-curhatan pendek yang terburu-buru dan emosional dan miskin argumentasi. Kita, menurutnya, harus melakukan pengkajian ulang terhadap teks-teks agama yang menurutnya sudah memfosil.
Masdar F. Masudi, magnum opus-nya “Agama Keadilan”, memiliki pemikiran yang relatif utuh. Bahwa untuk mentranformasi kehidupan yang lebih ideal diperlukan suatu terobosan pemikiran yang tidak lagi teologis-teosentris tapi teologis-antropsentris. Dan dalam konteks ini negara punya peran determinan. Hasilnya adalah penyamaan pajak dan zakat.
Ahmad Baso? Lebih baik baca saja tulisannya dalam buku ini. Pemikirannya kurang terekspos di publik dan sulit dipahami karena pendekatannya yang belum familiar di publik Indonesia. Sekadar contoh, dengan pendekatan arkeologi ala Michel Faucoult, Ahmad Baso membongkar dan menguliti epistemologi Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid secara terpirinci sehingga menghasilkan simpulan yang tak terduga dan belum terbaca oleh pemikir lainnya tentang kedua tokoh tersebut bahkan oleh pemikir sekelas Greg Borton. Menurutnya, peneliti berkebangsaan Australia itu tidak punya cukup metodolgi untuk sampai pada esensi pemikiran dari kedua pemikir besar Indonesia tersebut.
Jika Ulil Abshar Abdalla, pasca tidak aktif lagi di Partai Demokrat, beralih ke youtube menekuni tasawuf, Masdar F. Masudi tidak terdengar kabarnya dan “sudah pensiun” dari gelanggang, paling menjadi pembicara pada seminar-seminar terbatas, sementara Ahmad Baso masih tekun membaca naskah-naskah warisan nusantara.
Meskipun tradisi intelektual NU sekarang, karena efek dari media sosial, tidak seintens pada masa sebelumnya, saya percaya tradisi intelektual di NU yang warna warni tidak akan pudar. Tapi apakah generasi milineal NU familiar dengan tradisi pemikiran NU, minimal yang direpresentasikan oleh ketiga pemikir di atas? Atau generasi milineal aktif di NU hanya numpang beken saja dan mencari hidup dari NU?
Masih dalam suasana perayaan hari kemerdekaan, khususnya kalangan generasi milineal NU, mengisi kemerdekaan adalah dengan menyelami warna warni pemikiran NU agar mereka paham bahwa monopoli kebenaran bukan ciri khas NU. Sehingga pasca ketiga tokoh tersebut, akan lahir pemikir muda NU yang lebih elegan dan kosmopolitan untuk membawa Indonesia yang berkemajuan dan berperadaban.
×
Berita Terbaru Update