Konflik atau sengketa di tubuh organisasi atau lembaga lainnya sudah menjadi hal yang wajar dan biasa, konflik biasanya terjadi karena tidak di temukannya kesepakatan bersama, atau adanya hal yang dianggap timpang dan bermasalah.
konflik itu sendiri dalam organisasi bisa menjadi suatu kemunduaran atau bahkan bisa menjadi kemajuan organisasi, jika konflik itu di manajerial sebaik mungkin, dan konflik itu menghasilkan produk baru, baik secara keilmuan dan pengembangan skill kader, dengan kata lain hadirnya konflik di organisasi menghasilkan produk keilmuan baru atau bisa jadi kritik terhadap peraturan yang sudah baku.
Namun aih alih konflik yang produktif dan menghasilkan karya bagi kemajuan organisasi, kadang kali konflik menyisihkan luka, duka dan bahkan nyawa, dengan hadirnya konflik di tubuh organisasi tidak sedikit yang harus kehilangan kesehatan mental, fisik, dan barang berharga lainnya, sehingga konflik semacam ini tidak produktif dan malah menjadi ciri sebagai suatu kemunduran di tubuh organisasi.
menyoal konflik di tubuh organisasi biasanya lahir karena adanya ketidaksepakatan bersama, misalnya karena adanya peralihan/estafeta kepengerusan, misalnya dalam forum forum demokrasi di tubuh organisasi, seperti RTAR, RTK, Konfercab, Konkorcab dll,
di tubuh pmii sendiri yang katanya kadernya selalu menghatamkan buku buku dari mulai wacana kekiri kirian, hingga ke kanan- kananan, dari mulai buku buku filsafat, buku buku tentang demokrasi dan buku lainnya, dari proses yang di alami kader pmii seharusnya menjadikan kader pmii yang senantiasa selalu menjungjung asas keadilan dan menjungjung nilai nilai demokrasi dalam setiap forum. dengan hadirnya kader pmii yang mempunyai skill dan kemampuan dalam menyoal hak hak demokrasi, seharusnya kader pmii paling terdepan dalam menyoal dan mengimpelemntasikan.
jika kita lihat dalam sejarah atas lahirnya teologi- teologi islam, hal itu muncul karena adanya konfik kepentingan dalam tubuh islam saat itu, kepentingan dan pemegangan kekuasaan antara sayyidina Ali dengan Muawiyah, dalam literatur sejarah di tuliskan bahwa antara keduanya sepakat untuk melakukann arbitrase, yang mana dalam proses ini lebih menguntungkan pihak muawiyah daripada pihak ali, dari persoalan ini, timbullah orang yang mengggap bahwa Ali telah menyeleweng dan tidak menyepakati kesepakatan itu dengan semua pendukung Sayyidina Ali, maka muncunlah mereka sebagai Khawariz, ( Orang- orang yang keluar dari Golongan Ali dan Menganggap Sayyidina Ali berdosa besar).
dari perhelatan konfik yang sangat panjang karena perebutan kuasa dan relasi kekuasaan pada saat itu, berhasil memberikan karya dan bisa di katakan konflik yang kreatif dan produktif, karena dari konflik itu muncul teologi- teologi islam, salah satunya yang masih eksis saat ini yaitu teologi yang dicetuskan abu hasan al- asy'ari dan abu mansyur al-maturidi, yang mana hingga saat ini banyak di anuk oleh umat islam indonesia.
orang- orang terdahulu sudah memberikan contoh kalau mau konflik kalian harus produktif, begitu kira- kira hikmah yang dapat di ambil, bagi kita warga pergerakan, bagi warga pergerakan yang selalu menggaungkan revolusioner dan progresif, sudah sepatutnya memberikan contoh, minimal dalam ruang lingkup internal PMII Itu sendiri.
Dziki, Fikir dan amal Shaleh, selalu menjadi tri moto kaum pergerakan, hingga seyogyanya kaum pergerakan menjadikan tri moto itu sebagai ruh/nafas dalam melakukan aktivitas organisasi maupun aktivitas lainya, dengan berdzikir tentunya memberikan efek keshalihan kepada kader pergerakan, dengan fikir, menjadikan kader pmii yang intelek dan cakap dengan amal shaleh menjadikan kader pmii yang baik, secara individu dan sosial.
bagi kader pmii yang mengimplentasikan tri motonya, sebagai ruh pergerakan, maka menurut saya kader pmii tidak akan melakukan hal hal menyeleweng dari amanat organisasi dan konssitusi yang berlaku, dan tidak akan melegalkan kepentingan senior, sehinnga munculnya organisasi yang harmoni.
lahirya koflik di internal pmii bisa terjadi karena adanya intervensi senior, dan praktik kepentingan senior, sehingga melegalkan segala cara dan segala hal agar menjadi orang idaman atau nomer satu di pmii, baik di tingkat komisariat, cabang, sampai tingkat PB.
sebagai kader pmii yang amatiran, kita bisa mengambil contoh dari proses demokrasi di salah satu cabang pmii, yaitu cabang kabupaten bandung, cabang bekasi dll, proses demokrasi yang seharusnya melahirkan stake holder yang berkualitas, tapi demi eksistensi dan kepentingan senior, proses demokrasi itu malah menjadi ancaman kepada kader di organisasi, dari konflik dualisme cabang antara kubu at tamur dan kubu pleno 4, setidaknya menghambat proses kaderisasi, dan memberikan efek yang sangat siginifikan, kader terombang ambing, ketidakjelasan legalitas, sampai ketidakjelasan memilih antara pulang kampung atau tetap di bandung, hahaha.
sampai tulisan ini hadir, saya sebagai kader nakal nan amatiran hingga ingin merumuskan persoalan ini dengan rumusan masalah
a. efektifk kah budaya konflik pmii bagi kemajuan organisasi...?
b. menimbang efek budaya konflik di pmii antara kemajuan atau kemunduran..?
hahha sudahlah ini hanya angan-angan saja, mana mungkin kader amatiran paham persoalan tentang organisasi pmii, lagi lagi kamu belum hatam pendidikan formal, kamu belum PKD, Kamu belum PKL, Ngapain kamu ngeritik pimpinan,, hahhaa katanya kritik transformatif di bolehkan, ko senior malah melarang, hihihi, mari kita berompli ria, menyanyi di pantai, dan mari mengheningkan cipta dan jangan lupa seduh kopimu lalu tidur, semoga bermimpi indah menjadi orang nomor satu di pmii.
salam Sahabat Lucu.