ilustrasi |
Pilkades sebagai ajang prosesi amanah dari konstitusi, dengan pilkades dapat terpilih pemimpin yang baru dan di harapkan mampu mewujudkan perubahan, baik di sektor ekonomi, pembangunan, pendidikan, budaya lokal dan tentunya lebih komplek pada kesejahteraan Rakyat.
pilkades juga sebagai ajang kontestasi putra terbaik desa, dan sebagai ruang demokrasi di desa, putra daerah bisa mengikuti kontestasi ini sesuai dengan aturan dan regulasi yang berlaku.
kontestasi adalah pilihan dalam berdemokrasi. kalah dan menang bukan persoalan, yang terpenting masih bisa menjalin persatuan antar warga masyarakat desa, agar terwujudnya kemaslahatan bersama.
dalam asas demokrasi, seseorang berhak di pilih, memilih dan berhak memajukan diri sendiri untuk di pilih, asas ini yang kemudian menjadikan setiap warga masyarakat yang memenuhi syarat berhak memberikan suaranya dalam pilkades, pilkada, dan bahkan pemilu.
dengan hadirnya demokrasi sebagai ruang bagi warga untuk menyalurkan hasrat politik dan keinginan menyuarakan aspirasinya di muka umum, namun bukan berarti dalam menggunakan asas demokrasi ini menghiraukan etika dan norma yang berlaku, antara adab, etika dan norma tetap menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pemilihan kepada desa mungkin terjadi hal yang tidak di inginkan, seperti chaos, kles, dan konflik antar warga masyarakat, hal ini tentu tidak muncul begitu saja, ada faktor dan penyebab yang menyebabkan konflik terjadi, misalnya adanya praktik money politik, ujaran kebencian antara pendukung, sumpah serapah, dan hilangnya norma bermasyarakat dan bernegara.
budaya- budaya yang sudah sepatutnya, kita hilangkan dalam melakukan kontestasi adalah money politik, atau politik uang, suap hari ini sudah hampir mendarah daging hampir pada setiap lapisan masyarakat, money politik seolah menjadi senjata untuk meraup suara dan keuntungan.
jika money politik masih melanggeng dan membudaya dalam prosesi pemilu, pilkada, pilkades, sudah dipastikan kualitas yang hihasilkan adalah kualitas terburuk yang di dapatkan, sehingga cita cita bersama tentang kemaslahatan dan pembangunan adalah angan- angan.
hal ini saya katakan bukan tanpa alasan dan landasan, landasan yang saya gunakan adalah analisis manajemen pembiayaan, bayangkan saja jika calon kades membagikan uang 25 ribu rupiah untuk satu suara, terus kita kalikan dengan 1800 suara, maka biaya yang di keluarkan adalah 45 juta rupiah, untuk biaya suara saja, belum biaya untuk atk dan atribut kampanye, belum untuk akomodasi dan lainnnya, lumayan besar kan biaya pilkades ini, sedangkan gaji kepala desa itu di bawah 5 juta ke bawah, bisa anda bayangkan antara biaya pilkades dengan gaji kepala desa sangat beda jauh.
dan hal ini bisa berimplikasi pada rendahnya daya serap terhadap pembangunan dan cita- cita kesejahteraan rakyat, jadi masih mau memilih calon kepada desa yang memberikan anda uang,,, ? coba di pikir lagi....
dalam proses pilkades tentunya setiap warga negara dan warga masyarakat berhak berbeda dan berhak mempunyai pilihan nomor yang berbeda, setiap warga yang memberikan suara nya berharap adanya perubahan bagi wilayahnya masing-masing, baik yang menyangkut pemberdayaan, pembanguan dan lain sebagainya.
tetapi setelah pilkades selesai jangan sampai perbedaan itu menjadi perpecahan dan pertikaian antara warga masyarakat, bawa santai saja perbedaan adalah anugerah dan warna dalam kehidupan di dunia, nomor yang kita pilih boleh berbeda tujuan dan harapan kita sama.
Ahmad Kodir Nuramdani