untuk Mas Mentri |
Diskursus
kekerasan seksual kembali mencuat dan menjadi perdebatan pblik seiring lahirnya
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Universitas yang memicu keberatan dari sejumlah ormas
Islam. Pasal 5 dalam peraturan tersebut yang menuai kritik dan polemik karena
ada frasa “tanpa persetujuan korban”.
Misalnya,
dalam ayat 2 huruf( m) berbunyi: “membuka pakaian korban tanpa persetujuan
korban.” Tidak perlu berpikir mendalam. Sekilas saja kita bisa menemukan
kekeliruan kalimat tersebut. Kekerasan seksual di dalamnya memang tanpa
persetujuan korban. Bukanlah kekerasan seksual namanya jika ada persetujuan
korban.Dan jika ada persetujuan korban, maka bukan lagi korban namanya. Kalimat
itu menjadi kekeliruan di atas kekeliruan.
Frasa
“tanpa persetujuan korban” juga mengandaikan makna implisit – mafhum mukholafah
– bahwa jika membuka pakaian korban dengan persetujuan korban menjadi halal dan
thayyib. Jadi saya membayangkan seorang dosen dengan persetujuan korban karena
takut tidak diberi nilai atau ujian munaqosahnya tidak lulus, membuka
pelan-pelan pakaian “korban” . Pertanyaannya kenapa ada frasa “tanpa
persetujuan korban”? Apa tujuannya?
Jika
diperhatikan secara seksama, Permendikbudristek tersebut sarat dengan pandangan
dunia feminisme yang bertujuan merekontruksi tatanan sosial patriarki.
Feminisme sebagai diksursus dan gerakan sosial dalam beberapa hal memang telah
membuka pemaknaan baru terhadap relasi gender. Tapi pada saat yang sama
feminisme juga melahirkan paradoks. Alih-alih mengangkat harkat martabat
perempuan malah menjerumuskannya pada cengkaraman kapitalisme yang justru
secara substantif merendahkannya karena perempuan menjadi komoditas untuk
“dinikmati”.
Secara
normatif, dalam Islam (mungkin juga agama yang lainnya) jangankan kekerasan
seksual, menyentuhnya saja atau hanya memandang dengan hasrat atau memandang
kepada non muhrim sudah diharamkan. Makna haram dalam bahasa agama urusannya
sampai ke akhirat!
Jadi
permendikbudristek itu baik untuk melindungi mahasiswi dan mahasiswa dari
dosen-dosen predator yang gatal alat vital dan gagal moral.
Mas Menteri....rubah
kalimat dan buang frasa “tanpa persetujuan korban” . Gitu aja kok repot......