Oleh : Atep Abdul Rohman
Sebagai seorang manusia yang mempunyai akal, pikiran dan hawa nafsu, tentu mencari pasangan adalah hal yang begitu lumrah. Bahkan, pasangan lawan jenis untuk saling mencintai dan menyempurnakan satu sama lain adalah perkara yang justru dibutuhkan oleh kaum adam dan hawa. Bagaimana tidak, Nabi Adam a.s. yang tinggal di surga dengan berbagai kemewahan dan kenikmatan saja, masih merasa kekurangan karena hidupnya sendiri. Barulah Allah ciptakan Sayyidah Hawa untuk melengkapi hidup sang Nabi.
Sejak zaman dulu, bahkan ketika Allah ciptakan manusia pertama, terdapat hasrat cinta dan kasih sayang antara laki-laki dengan perempuan. Hasrat dan rasa itu kemudian tumbuh sesuai kontrol dirinya. Jika memang perasaan cinta dan ketertarikan terhadap lawan jenis timbul, maka sang pemilik rasa itu akan berusaha untuk mendapatkan yang diinginkannya. Islam mensyariatkan nikah sebagai jalan keluar atas cinta, kasih sayang dan ketertarikan terhadap lawan jenis itu ketika sudah mulai menggejolak. Maka, menikah dengan sosok yang diidam-idamkan adalah salah satu impian terbesar bagi setiap orang.Hidup berpasangan adalah sunnatullah yang hampir tak ada seorang pun yang menolak atau tidak menginginkannya. Walaupun ada yang menolak untuk berpasangan, tapi sebenarnya Allah telah menyiapkan pasangan untuknya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah An-naba ayat 8, “Dan Kami telah ciptakan kalian berpasang-pasangan.“ Maka dengan firman ini, dapat dipastikan bahwa setiap orang mempunyai pasangannya sendiri. Pasangan tentunya antara laki-laki dengan perempuan.
Namun, kenikmatan mendapatkan pasangan dan bergaul dengannya bukanlah hal yang dicari dan didambakan oleh segelintir orang. Bagi orang-orang tertentu, pernikahan yang mempertemukan antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan baginya untuk berenang-senang bukanlah puncak dari sebuah kenikmatan. Ternyata ada yang lebih nikmat, lebih penting dan lebih utama dalam hidup ini dari sekedar hidup berpasangan atau bersuami istri.
Di dalam buku bertajuk Memilih Jomblo Kisah Para Intelek Muslim yang Berkarya Sampai Akhir Hayat karya KH. Husein Muhammad, memberikan penjelasan dan gambaran bahwa pasangan hidup yang selanjutnya dikenal dengan jodoh adalah hal yang fadi dan nyaris tak terpikirkan oleh orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk agama. Seluruh waktu dan hembusan nafasnya tak pernah digunakan untuk memenuhi panggilan nafsu yang justru dibolehkan, bahkan dianjurkan oleh agama. Wanita bukanlah perhiasan dunia bagi seorang laki-laki, dan laki-laki bukanlah pangeran dambaan bagi perempuan yang hatinya sudah terpenuhi cinta pada agama.
KH. Husein Muhammad menuliskan 21 cendikiawan muslim yang hidup tanpa seorang pasangan hidup. Bahasa lainnya, para cendikiawan tersebut hidup menjomblo sampai akhir hayat. Bukan karena tidak ada yang menginginkannya, atau bahkan karena dibenci orang, tapi prinsip hidupnyalah yang membuat cendikiawan itu rela hidup sendiri tanpa seorang kekasih. Sejumlah cendikiawan itu sudah mendapati tawaran menikah dari berbagai sisi, namun karena hati telah terpenuhi cinta pada selainnya, akhirnya semua tawaran itu pun tak ada kelanjutannya.
Sebut saja ulama terkenal yang mengarang banyak kitab, yaitu Imam Nawawi. Beliau adalah ulama muslim dari madzhab Imam Syafii kelahiran tahun 631 H yang hidup jomblo sampai akhir hayatnya. Seluruh waktu beliau diisi dengan mengabdi kepada umat dalam menegakkan ajaran Islam. Banyak karya Imam Nawawi yang menjadi standar pelajaran di berbagai penjuru dunia, terutama di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa setiap pesantren Indonesia yang beraliran sunni akan mempelajari karya Imam Nawawi.
Adapun dari kalangan perempuan, Sayyidah Rabi’ah Al-Adawiyah adalah tokoh terkenal yang semasa hidupnya tak tertarik sedikitpun untuk menikah dengan seorang lelaki. Perempuan kelahiran Basrah, Irak tahun 180 H itu menolak laki-laki yang datang kepadanya setampan, sekaya dan sehebat apapun. Hidupnya terpenuhi oleh cinta kepada Allah. Siang malam ia berdzikir, tercurah ruah cintanya hanya untuk Allah. Baginya, tidak ada kata cinta kecuali untuk Allah semata.
Selain itu, banyak lagi para cendekiawan muslim yang hidup menjomblo tanpa memikirkan pernikahannya. Alasan yang diungkapkan bukanlah karena pandangan agama, tapi prinsip pribadi yang menganggap bahwa pernikahan bagi dirinya adalah sesuatu yang tak lebih penting daripada roti kering. Hidup menjomblo bukanlah sebuah kemustahilan dan keharaman, tapi justru sebuah penjagaan dari kelalaian dalam memenuhi hak-hak Tuhan.
Oleh karena itu, hidup jomblo dapat dijadikan sebagai dalil untuk proses peningkatan kualitas diri agar dapat menghasilkan karya-karya yang bermanfaat di masa mendatang. Apalagi di zaman sekarang, jomblo sementara adalah pilihan yang tepat untuk mewujudkan impian jika memang pasangan malah datang menghambat proses segala pencapaian harapan.