Oleh: Adnani, S.Hum ( Guru MAN 2 Kota Cirebon)
“Nda, jika tuhan mentakdirkan kita berjodoh pasti suatu hari nanti kita akan dipertemukan lagi” kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut perempuan yang sedari tadi tertegun menatap semburat merah langit yang seolah beradu dengan deburan ombak Kejawanan. Deraian air mata yang terus mengalir dari kedua kelopak matanya namun ia mencoba untuk tetap mengungkapkan segala keresahannya kepada karang yang sedari tadi membisu memperhatikan dua sejoli yang tengah diamuk kekalutan.
“andai kamu tidak bisa memberi keputusan sampai besok, aku akan pulang minggu depan” Dengan nada tertahan perempuan itu melanjutkan “aku akan terima pinangan laki-laki pilihan ibu, Nda” sambil berlalu pergi perempuan itu meninggalkan Nanda yang sedari tadi diam seribu bahasa.
***
“Hey Nda, ahir-ahir ini kamu lebih banyak termenung dan menyendiri, kenapa kau?” Tukas Dani, buyarkan lamunan Nanda.
“Gak papa Dan, Cuma lagi pengen nyari ketenangan aja nih.”
“Huuuh gaya mu nyari ketenangan, kuburan tuh tenang”
“Itu mah cocok buat kamu Dan, barangkali aja mau boking satu lokal haha”....
“Sembarangan kalau ngomong, kamu tuh yang udah tanda-tanda, dari kemaren gak mau makan, siap-siap aja haha”...
Suara tawa lepas sore itu sedikit mengurangi nyeri di hati, walaupun esok akan tetap menjadi misteri, akankah bisa tertawa kembali atau luka kembali menyayat hati, ah entahlah.
Mentari perlahan naik beranjak dari peraduannya, desingan suara mesin motor menggantikan kicauan burung-burung penyambut pagi. Sinar surya menerpa gerbang putih yang kokoh menyambut mahasiswa-mahasiswanya. Logo sebuah kementrian jelas terpampang di salah satu dinding benteng yang mengitari kampusku. Tepat di sampingnya berjejer mesra logo kampus itu.
“silahkan kelompok selanjutnya untuk maju mempresentasikan hasil kerja kelompoknya” seru Bu Maria.
Selang beberapa menit masih belum ada yang maju, akhirnya Bu Maria yang terkenal gak kenal kompromi terhadap mahasiswanya itu berseru kembali “ ini giliran kelompok siapa? Kok dari tadi gak ada yang maju?” Dengan nada yang sedikit tinggi. “ andai tidak ada yang maju, kuliah Arkelogi semester ini di anggap selesai”
“Eh Nda, bukannya sekarang bagian kelompok kamu yang presentasi?” Sergah Dewi dari samping bangku.
“ mampus, aku lupa kalau hari ini kelompok aku yang maju!”
“Emang kamu sama siapa kelompoknya?”
“Kalau gak salah sama Jaim. Duh dia sakit lagi”.
“Wi, kamu punya catetan materi hari ini gak?”
“Sebentar kayanya aku sempat ngrangkum tadi malem.”
“Nih Nda,” dewi menyodorkan catatan miliknya.
“Sekali lagi kalau tidak ada yang maju, ibu tutup MK semester ini”
Terlihat tegang raut muka para mahasiswa, kelas berubah menjadi sangat mencekam.
Dengan langkah bergetar, Nanda menuju depan kelas.
“Sekarang kelompok kami bu, Jaim gak bisa hadir, dia sakit Bu”.
“Terus makalahnya mana?”
“Makalahnya dibawa Jaim bu”
“Terus kamu maju mau ngapain kalau gak bawa makalah?”
“Aku udah nyatat bu, aku mau mempresentasikan hasil catatan aku”
Suasana kelas begitu hening. Terlihat Ibu Mariah berfikir keputusan apa yang akan dia lakukan.
Karena bagaimanapun Nanda adalah mahasiswa yang tekun dan rajin. Ahirnya dengan segala pertimbangan, Bu Mariah mempersilahkan Nanda untuk mempresentasikan hasil catatannya.
“silahkan sekarang kamu presentasikan hasil catatanmu, tapi kamu harus membuat makalah tentang Arkeologi sebanyak sepuluh makalah.”
“Makasih bu” jawab Nanda lemah.
“Mata kuliah hari ini dicukupkan, wassalamualaikum” ucap Bu Mariah menutup perkuliahan hari ini.
“nda kamu kenapa? Tumben tugas kelompok sampe gak keurus, kamu punya masalah? Atau kamu punya unek-unek ? serang Dewi dengan beberapa pertanyaan seperti wartawan-wartawan.
Dewi adalah teman dekat Nanda, dia yang selalu mengerti dan peka terhadap Nanda. Walau mereka berbeda jenis kelamin, tapi persahabatan keduannya jangan ditanya lagi. Nanda juga adalah orang kepercayaan Dewi, tempat keluh kesah dan pendengar setia curhatan-curhatannya.
“aku mau cerita Wi, tapi kamu jangan bilang siapa-siapa masalah ini”
“Yaelah kamu kaya sama siapa aja”
“Kamu janji Wi, gak bakal bocor kesiapa-siapa”.
“Iya Nda, aku janji gak laku-laku kalau aku bocorin”.
“ dulu aku sempat bercita-cita punya pasangan hidup yang sempurna, perempuan yang cantik parasnya, indah perangainya, sopan tingkah lakunya, kemudian dari keturunan orang baik pula”
Dengan mata menerawang Nanda mencoba merangkai kekalutannya dalam kata-kata
“cita-cita itu sedikit demi sedikit menjelma nyata, ketika aku berjumpa seorang perempuan. Dia begitu sempurna dengan balutan muslimah dan kelembutan budi pekertinya, seakan-akan dialah sesosok wanita yang selama ini aku cita-citakan. Namun dalam hati rasa-rasanya semua itu mustahil Wi, ketika berkaca dengan diriku sendiri, dia begitu mewah dengan segala pernak-pernik dunia dan ahiratnya, sementara aku hanya anak tukang buah. Tapi aku tidak menyerah begitu saja, dengan segala daya dan upaya aku mencoba. Ahirnya pada hari itu aku bisa berkenalan dengan dia. Aqila panggilannya atau nama lengkapnya Najma Aqila. Sebuah nama yang indah, seindah rupa dan ranum bibirnya. Malam itu aku terjaga semalaman sampai tak terasa subuh menjelang”
“Terus kamu solat subuh gak?” Dewi coba memotong
“solatlah masa tidur, emangnya kamu”
“Huuh aku juga Islam kali”
“Ntar jangan potong dulu lah Wi, belum selesai nih ceritanya. Tuh kan aku jadi lupa”
“Emag bener umur itu bisa mengurangi daya ingat seseorang” Dewi coba meledek.
“Oh iya, semenjak waktu itu, kita saling kenal dan lebih dekat. Sampai pada ahirnya di bawah pohon rindang taman itu, dengan mengumpulkan segala keberanian aku utarakan segenap rasa hatiku Wi, namun dia menolak dengan alasan fokus kuliah”
“Haha... kasian sekali nasibmu nak” celetuk Dewi
“Eh ntar dulu ini belum berahir ceritanya, kemudian aku gak nyerah sampai situ saja, kita tetep menjalin komunikasi. Pada saat yang tepat, aku coba lagi, eh ahirnya diterima”..
“Huuuh... kamu itu kaya masih SMA saja pake pacaran segala, ini kuliah Nda” Ledek Dewi
“Bilang aja kamu sirik Wi. Maklumlah kamu kan jomblo abadi” Nanda membalas
“Baru kali ini aku merasakan cinta yang bener-bener dari hati. Ada sesuatu yang berbeda jika yang lain hanya datang dan pergi begitu saja, ini bener-bener ngena ke hati. Dan yang membuat aku terkejut ternyata dia adalah seorang penghafal Qur’an. Mulai saat itu, aku mencoba memantaskan diri supaya mampu bersanding bersamanya”
“Oh pantes saja kamu rajin solat tuh gara-gara dia, kirain udah ketemu tuhan”
Karena menurut Nanda kebenaran adalah sesuatu yang ditemukan bukan sekedar ikut-ikutan, begitu juga agama.
“sebenernya bukan saja itu Wi yang membuat aku solat, dalam kehidupan selama ini ada sesuatu yang hilang, yakni sebuah ketenangan yang semua itu aku dapatkan ketika aku solat” Nanda membela.
“Namun, semua itu tidak bertahan lama Wi, ibunya sudah memilihkan laki-laki yang lebih istimewa. Dia adalah seorang dosen dengan segala kemapanannya. Kemarin dia ngirimin saya surat Wi. Nih suratnya.” Nanda menyodorkan secarik kertas dari sakunya
Teruntuk Nandaku
kemaren ibu menelponku, bahagia rasanya mendengar suaranya, rasa kangen ini seketika terobati dengan mendengar kata-katanya Nda, Ibu memberi kabar bahwa beliau baik-baik saja. Ucap sukur mendengar berita tersebut. Ibu juga memberi tahu bahwa ladang bawangnya telah panen dengan hasil yang melimpah.
Dalam ahir pecakapan beliau bercerita bahwa telah datang kepadanya seorang laki-laki. Dia adalah seorang dosen. aku sebenarnya tidak tertarik dengan obrolan ini, kemudian ibu mengingetkan umur aku yang telah menginjak umur 23 yang dalam adat keluarga kami ini adalah batas dari masa lajang. Aku juga belum mengerti arah percakapan ini. Namun tiba-tiba ibu menanyakan kesiapan aku. Aku juga bingung harus menjawab apa, karena ibu sudah terlanjur tertarik dengan laki-laki itu.
Aku serahkan kepadamu Nda, aku harap kamu datang ke rumah ibuku, meminta restu untuk meminangku. Sebelum semuanya terlambat.
Najma Aqila, bintangmu Nda
“Aku ngerti posisi kamu Nda” dewi menyerahkan kembali surat tersebut.
“Apa yang harus aku lakukan Wi? Bukannya aku gak mau meminang dia, tapi aku belum siap, masa depan aku masih jauh, cita-cita aku, adik-adik aku semuanya membutuhkan tenagaku Wi”
“Bukannya lebih ringan kalau kamu nikah ama dia, adik-adikmu bisa terus sekolah”.
“Wi, mata Nanda menatap tajam. Aku ini laki-laki, aku punya harga diri, aku gak mau manfaatin hartanya untuk adik-adikku”.
“Besok Aqila mengajakku ketemuan di Kejawanan, aku harus punya keputusan. Semoga Sang Maha Menghinakan mau memuliakan nasibku ini”.
*****
“Bukankah bintang gemintang akan tetap bersinar meski kita tak pernah memilikinya”. Gumamnya dalam hati.
Oh Najma(bintang)-ku