<head> Kontestasi Media dan Pelibatan Perempuan Sebagai Ikon Kecantikan Masyarakat

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Artikel (31) bacaan (14) Berita (29) ekonomi. (1) Film (6) Keilmuan (17) Keislaman (37) Opini (77) Pemilu (6) PMII (14) POLITIK (6) Puisi (2) Warta (39)

Kontestasi Media dan Pelibatan Perempuan Sebagai Ikon Kecantikan Masyarakat

Senin, Juli 25 | Juli 25, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2023-10-26T22:57:29Z

Giswah Yasminul Jinan*

Majalah Kopri 

Saat ini penyebar luasan informasi terkait kejadian dan kabar terbaru bisa diakses melalui media informasi, terutama media sosial seperti internet. Media sosial menawarkan berbagai macam bentuk informasi, siapapun dapat mengakses internet. Namun dampak d Ini merupakan pari hal tersebut memicu tindakan kriminal, seperti kekerasan seksual yang banyak beralih pada sekte media sosial.

Kini media sosial menjadi sebuah alat yang sangat vital dalam hal propaganda entah itu yang sifatnya positif misalnya seperti: menyuarakan data kekerasan seksual dan propaganda untuk penyadaran masyarakat atas perlindungan korban. Atau yang sifatnya negative, misal alat untuk melakukan perundungan, dan doktrin standarisasi kecantikan. Sebelum mengupas pembahasan oknum media yang masih patriarkal, kita harus menyempitkan arti kata media disini. Maksud dan penggunaan media disini adalah media infromasi. Salah satu alat untuk menyebar luaskan infromasi pada khalayak umum seperti salah satu dunia cetak yaitu majalah, dunia pertelevisian, maupun penggunaan internet.

A.Membuka Mitos Kecantikan Model Sampul Majalah

Sebelum adanya televisi dan internet, Majalah lebih dulu memberikan informasi bergambar yang menampilkan foto perempuan pada sampul majalahnya. Lalu pada akhirnya majalah dinilai sebagai salah satu media informasi yang kerap kali menunjukkan objektivikasi, dan disinilah standarisasi kecantikan dimulai. Menggunakan foto sampul majalah dengan perempuan yang memenuhi kriteria pada beberapa majalah dengan spesifikasi kategoris seperti perempuan dengan rambut panjang, kulit putih, bersih. Adanya sosok perempuan yang menjadi standar kecantikan pada beberapa majalah, membuat perempuan dari kalangan muda sampai tua berlomba lomba untuk mempercantik diri bak model foto sampul pada majalah. Kekuatan sosok pada foto sampul ini mnjadi salah satu aset yang dimanfaatkan oleh golongan kapital untuk menjajakan produknya seperti make up, baju, skin care, sepatu, aksesoris dan sebagainya. Dan nyatanya produk tersebut laris terjual demi mengikuti gaya dan trend sosok pada foto sampul tersebut. Sebenarnya jika kita menarik standarisasi kecantikan pada masa mesir kuno, Cleopatra misalnya, standrisasi kecantikan ratu dan putri raja merupakan sebuah standar kecantikan bagi masyarakat pada zamannya. Artinya, standarisasi kecantikan bukan sesuatu yang baru di konstruk pada saat ini.

B.Televisi Sebagai Alat Objektivikasi Perempuan dan Propaganda Kapital

Saat masa orde baru, pertama kali hadirnya dunia pertelevisian di Indonesia, hanya beberapa orang yang dapat menikmati suguhan acara televisi. Pada saat itu juga suguhan acara pada beberapa stasiun televisi masih terbatas dan hanya bisa ditonton pada saat akhir pekan saja. Saat ini hampir setiap rumah baik mereka yang berada pada kalangan bawah ataupun menengah keatas memiliki televisi di rumahnya. Sehingga suguhan konten cerita drama beupa sinetron, bintang iklan dilihat sebagai peluang untuk dijadikan sebagai standar kecantikan masyarakat untuk mengkomersilkan produknya. Penampilan bintang iklan, sinetron, mengubah cara pandang masyarakat dalam menyesuaikan dirinya dengan standar kecantikan yang ada pada televisi. Ini merupakan standarisasi kecantikan yang sengaja dimanfaatkan sebagai bahan komersil. Penjualan skin care, pemutih kulit, operasi plastik sehingga menjadi perempuan yang ideal pada kultur masyarakat patriarkal. Kesempatan ini digunakan oleh para kapital untuk mengambil keuntungan dengan menerapkan standarisasi kecantikan yang diraup untuk keuntungan pribadi.

Penyiaran berita sebagai segmen laporan kasus dunia pertelevisian sering melakukan tindakan tidak pantas. Menormalisasi, memperhalus bahasa yang digunakan pada peliputan kejadian kekerasan seksual. Tak jarang berita televisi menampilkan identitas korban yang seharusnya menjadi area privasi bagi korban. Sudah trauma, identitasnya dibuka lagi!

Misalnya kasus perkosaan diperhalus menggunakan kata kata meniduri, menggauli dan lain sebagainya. Harusnya sorotan pada pelaporan kasus bukan pada identitas korban dan kejadian yang dialami, apalagi sampai mewawancarai korban sehingga korban harus berulang kali menceritakan kejadian menakutkannya untuk diceritakan kembali.

C.Kasus Kekerasan Seksual di Internet

Internet merupakan salah satu media informasi yang marak digunakan pada satu dekade ini. Sehingga banyak memunculkan beragam motif kekerasan seksual lain yang bermunculan. Kekerasan seksual selalu saja dinormalisasi jika ditinjau dari media yang masih patriarkal. Beberapa kasus menggunakan bahasa yang seakan akan perempuan merelakan atas tindakan pelaku kekerasan seksual. Media yang paling banyak menyuguhkan konten konten objekitivasi perempuan. Adanya KBGO juga merupakan salah satu ragam kekerasan seksual yang paling banyak terjadi. Pandemi mengalihkan segala aktivitas baik Work From Home (WFH), atau School From Home (SFH), Sehingga motif kejahatan seksual juga meningkat dimedia sosial ini. Menurut Komnas Perempuan kasus yang paling banyak terjadi yaitu Revange Porn. Kasus ini biasanya menimpa kalangan anak usia remaja.

Ini artinya objektivikasi perempuan dalam dunia media sudah sangatlah mengakar. Belum lagi beberapa penggunaan bahasa erotis sengaja digunakan agar menambah rasa penasaran pembaca. Lagi lagi pasar dijadikan sebagai sentral balik tameng pelanggengan budaya patriarkal yang memegang kendali dan menghegemoni media sebagai alat untuk menyebarkan infromasi.

×
Berita Terbaru Update