Oleh : Dina Eka Sulistiani
Majalah Kopri RTK |
Pada tahun pertama perkuliahan saya bersama teman sekelas mulai merumuskan mengenai pemilihan kosma kelas. Kami pun mulai mengajukan satu persatu calon yang dianggap berkualitas dan cocok dalam kepemimpinan. Pada akhirnya terpilih lah Asri sebagai kosma, tetapi dosen kami pada saat itu sedikit keberatan mengenai terpilihnya kosma perempuan. Beliau menyarankan baikny laki-laki yang menjadi kosma karena persepsi nya tentang perempuan yang dianggap sebagai insan yang lemah dan mudah sekali baper.
Dalam sebuah organisasi kelas yang saya amati kebanyak memposisikan perempuan sebagai sekretaris atau bendahara. Peran seorang perempuan masih terkesan minim dalam menduduki jabatan-jabatan penting di dalam organisasi kampus bahkan kelas sekalipun. Selain itu, jabatan- jabatan penting lebih banyak didominasi oleh seorang laki-laki.
Padahal jika kita lihat arti dari sebuah organisasi adalah sebuah wadah perkempulan orang yang saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Keterlibatan seseorang dalam suatu organisasi baik yang berbentuk organisasi intra maupun ekstra pasti didasari keinginan untuk memperoleh sesuatu, seperti: keinginan untuk menambah pengetahuan, mengembangkan diri, atau sekedar memperluas relasi. Jika kita amati, kini organisasi telah memasuki banyak kalangan baik itu dikalangan perempuan, mahasiswa, dan pelajar. Lantas bagaimana posisi perempuan dan laki-laki di dalamnya? Keduanya sama-sama mempunya peluang besar untuk menempati kedudukan penting dalam organisasi.
Dilihat dari kaca mata gender, hal ini tentunya masih terbilang belum memenuhi syarat adil gender. Berbicara mengenai keadilan dan kesetaraan gender, seharusnya semua didasarkan atas kemampuan atau kualitas dan bukan secara fisik melainkan secara kompetensi dengan berdasarkan pertimbangan adil bagi seluruh individu. Individu yang satu dengan yang lainnya, baik laki-laki maupun perempuan tentunya memiliki hak yang sama dalam segala hal.
Dalam pengisian setiap divisi dalam organisasi pun juga lebih di dominasi oleh kalangan laki- laki sebagai koordinator setiap divisi. Walaupun tidak semuanya seperti itu, tetapi fenomena ini hampir tercermin dalam setiap organisasi di kampus. Pada umumnya perempuan di dalam organisasi banyak yang diidentikkan dengan peran sebagai sekretaris ataupun bendahara, namun jarang yang condong ke arah ketua atau pemimpin organisasi. Hal ini jelas merepresentasikan peran perempuan di dalam sebuah keluarga, bahwasanya tugas perempuan itu hanya dalam ranah mengurus keuangan, dan dalam tataran rumah tangga saja. Padahal sebenarnya posisi sebagai seorang pemimpin bukan hanya diperuntukkan bagi kalangan laki-laki, tetapi juga perempuan. Bahkan sekarang posisi sebagai seorang pemimpin sudah terbuka lebar bagi kalangan perempuan.
Dalam konteks Indonesia sendiri sangat jelas sekali terlihat dalam ideologi bangsa kita yaitu yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila pada sila ke-5, yang menyebutkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dari sila ke-5 tersebut menggambarkan bahwa ideologi bangsa ini menyiratkan akan kesetaraan hak bagi seluruh kaum, baik itu perempuan maupun laki-laki. Hak dan kewajiban bukan hanya dimiliki oleh satu kalangan tertentu, akan tetapi diperuntukkan bagi setiap elemen masyarakat.
Padahal sejatinya manusia itu baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak yang sama. Siapapun berhak menjadi seorang pemimpin apabila dia memiliki kemampuan yang mumpuni dari segi intelektualnya dan lain-lain. Karena negara kita yang masih kental dengan budaya patriarki, maka banyak sekali pembatasan-pembatasan bagi perempuan untuk bergerak di ruang publik dengan doktrin-doktrin agama,sosial yang membuat budaya patriarki ini masih melekat sampai sekarang.