Oleh : Putri Isnaini N.A
Membahas isu gender ini seakan tidak ada habisnya, disadari ataupun tidak, Indonesia masih sangat kental akan budaya patriarkinya, sehingga muncul garis pemisah atau 'pembeda' antara yang boleh dan tidak untuk dilakukan—seperti halnya merokok.
Jika membicarakan rokok kemungkinan yang akan diahadapi seperti ceramah haramnya rokok, rokok merusak kesehatan bagi manusia, sehingga rokok ini sering kali menjadi kambing hitam atas setiap masalah. Sehingga orang-orang pun ikut mnghakimi bahwa rokok merupakan satu-satunya barang yang harus dilenyapkan. Tidak ketinggalan bagaimana jagat media pun turut meramaikannya—dari mulai tv, radio, koran hingga sosial media lainnya, rokok diidentikan dengan tindakan kekerasan, bahkan dianggap sebagai langkah awal para pecandu narkoba.
Umumnya rokok diidentikan dengan laki-laki, sehingga konsekuensinya menjadi hal yang tabu jika perempuan merokok, jauh-jauhnya akan menimbulkan stigma. Stigma yang melekat pada perempuan perokok seringkali berkaitan erat dengan cap negatif atas keseluruhan hidupnya, perempuan nakal, menyimpang dan lain hal yang senada.
Menjadi perempuan dengan rokok itu banyak resikonya, berbagai resiko dipandang negatif oleh masyarakat. Pandangan itu bernilai diskriminatif karena persoalan gender. Mereka menilai bahwa perempuan itu tidak pantas merokok karena keluar dari etika, moral bahkan harga diri perempuan itu sendiri. Padahal rokok bukan penyebab bobroknya moral. Menghisap rokok memang hanya untuk laki-laki saja? Tidak, buka pikiran kalian sejak kapan rokok mempunyai jenis kelamin? Rokok tidak mempunyai jenis kelamin bukan, rokok itu bebas nilai oleh karenanya laki-laki maupun perempuan berhak untuk merokok. Jika rokok mempunyai label maskulin, apakah salah perempuan memasuki wilayah maskulin?
Kita bisa memahami bahwa masyarakat kita masih partiarkis, apalagi menempatkan rokok sebagai sistem perbedaan gender. Padahal di Indonesia banyak sekali perempuan yang merokok, mereka merokok bukan karena tekanan, atau mungkin untuk terlihat keren dan gaya, bahkan di beberapa masa rokok—entah itu bagi laki-laki maupun perempuan—menjadi semacam kebutuhan yang sifat tersier atau pun skunder dalam kehidupannya.
Jika kita berbicara soal sejarah perempuan merokok, awalnya perempuan yang merokok menjadi tanda “obor kebebasan” atau tanda pemberontakan antara ketidaksetaraan laki-laki dengan perempuan. Mari buka pikiran sejenak, merokok bukan batas ukuran seseorang itu baik atau buruk, dan satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas konsekuensi kita merokok adalah diri kita sendiri bukan orang lain.
Kita semua telah dipermainkan oleh kekeliruan atau kesalahpahaman selama ini. Bahkan di negara Indonesia benda mati pun mempunyai jenis kelamin. Malam itu laki-laki, kopi itu laki-laki,, rokok itu laki-laki. Lalu bagaimana jika benda mati tersebut diambil alih oleh perempuan?
Lain halnya jika kita berbicara tentang perempuan berjilbab, yang merokok ini stigma yang melekat jauh dari perempuan yang tidak berjilbab, merekapun mendapatkan sitgma ganda, tanpa jilbab saja sudah mendapat stigma apalagi ini memakai jilbab lalu merokok waw stigma bermunculan dimana-mana, seolah-olah merokok dianggap sebagai aktivitas yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan berjilbab, katanya kalo mau merokok lepas dulu jilbabnya, lah sejak kapan rokok dan jilbab saling berkaitan? Lalu bagaimana dengan laki-laki yang berpeci lalu merokok, apakah mempengaruhi nilai religiousnya? Apakah sama mendapat stigma pula? TIDAK! Ternyata ribet banget jadi perempuan ini itu dibatasi, mau ganti jenis kelamin pun pasti dikomentarin yaa kan?
Yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana cara nya menghilangkan stereotip budaya yang negatif ini. Jadilah diri mu sendiri kamu berhak atas hidup dan tubuhmu. Untuk mu, jangan lah menjadi seseorang yang menilai baik buruk karakter itu dari sebatang rokok yang ada pada tanganku.