<head> Stereotipe, Mitos pada Penanganan kasus Kekerasan Pada Perempuan

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Artikel (32) bacaan (15) Berita (29) ekonomi. (1) Film (6) Keilmuan (17) Keislaman (37) Opini (77) Pemilu (6) PMII (14) POLITIK (6) Puisi (2) Warta (40)

Stereotipe, Mitos pada Penanganan kasus Kekerasan Pada Perempuan

Senin, Agustus 1 | Agustus 01, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2023-10-26T22:57:28Z

Oleh : Novita Erwinda

Majalah Kopri RTK

Saya menulis artikel ini berdasarkan jurnal yang saya baca dengan tema yang serupa dan saya menulis artikel ini juga berdasarkan beberapa kisah dari orang-orang yang berada di lingkungan saya yang pernah menjadi korban kekerasan seksual, kemudian saya juga sering mengikuti diskusi yang mengangakat tema terhadap kekerasan perempuan. Tema ini sangatlah menarik unuk kita bahas karena banyak yang kita dengar terkait kasus kekerasan seksual yang paling banyak dirugikan adalah pihak perempuan.

Meskipun Indonesia telah banyak mensahkan perundang-undangan terkait perempuan, namun masih saja ada kesenjangan dalam praktiknya. Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan terihat beberapa situasi dimana penegak hukum dan aparat masih melakukan bias gender seperti sikap menyalahkan korban, anggapan bahwa korban tidak konsisten dalam memberikan pernyataan, masih melihat faktor kedekatan antara korban dan pelaku, melakukan penyelesaian di luar pengadilan, dan pembuktian yang belum ramah kepada korban. Sikap tersebut merupakan cerminan adanya stereotype dan mitos dalam persepi aparat penegak hukum.

PERMA No 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perempuan berhadapan dengan hukum (selanjutnya disebut perma) oleh berbagai pihak dianggap sebagai terobosan bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan selama ini masih menjadi inkonsistensi persepsi hakim terkait putusan hukum masih banyak yang memberikan pertimbangan sehingga memperjauh perempuan mendapat akses keadilan. Selain hakim, dalam praktiknya penaganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh polisi dan jaksa masih mengandung bias gender dan belum mencerminkan keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual.

Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, perempuan masih diposisikan sebagai condisio sine quanon bagi terjadinya tindak pidana, dalam artian bahwa peempuanlah yang menstimulasi terjadinya tindak pidana tersebut. Stereotype didasarkan pada asumsi, mitos, stereotype yang berasal dari budaya masyarakat terkait dengan seksualitas perempuan.

Kaitan Stereotype dengan Asumsi (Kelompok) dan Kesimpulan

1. Stereotype: “Pria memiliki/harus memiliki nafsu seks yang tinggi.” Asumsi: “Pria akan/harus berinisiatif terhadap kegiatan seksual”

Kesimpulan (tentang seseorang): Seorang pria tidak akan mampu mengendalikan dorongan hormonnya dan tidak bias dimintai pertanggung jawaban atas perilaku menyimpang terutama jika diprovokasi (misalnya oleh cara berpakaian dan perilaku wanita)

2. Stereotype: “Wanita dengan disabilias mental mengalami hiperseks”

Asumsi: “Wanita dengan disabilitas mental memiliki nafsu seks yang besar dan tidak memilih-milih pasangan seksnya”

Kesimpulan (tentang seseorang): Seorang wanita penyandang disabilitas seharusnya tidak bias diserangkarena semestinya ia telah mengizinkan berhbungan seks atau memerlukan bukti yang lebih menguatkan daripada wanita yang bukan penyandang disabilitas.

3. Stereotype: “Wanita adalah/ harus menjadi ibu rumah tangga/ pengasuh”

Asumsi: “Wanita bersifat heteroseksual dan tugas mereka yang banyak adalah memenuhi peran sebagai istri dan ibu/pengasuh.”

Kesimpulan (tentang seseorang): Seorang pria “diperbolehkan” menggunakan kekerasan untuk mengendalikan seorang wanita yang bukan heteroseksual atau tidak menjalankan peran peran ini (yakni lesbian, biseksual, wanita yang menjalani peran selain atau disamping peran yang telah diidentifikasi).

Implikasi dari stereotype di atas dapat menimbulkan stereotype ganda dimana beberapa atau semuanya dapat disimpulkan oleh hakim pada saat menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Berikut contoh bagaimana stereotype digunakan secara berjenjang dan menghasilkan kesimpulan yang merugikan perempuan korban.

Contoh Implikasi Stereotipe terhadap Perempuan

1. Stereotype: “Wanita harus suci/perawan”

Asumsi: “Wanita tidak boleh melakukan hubungan seks di luar nikah” Kesimpulan (tentang seseorang):

a. Wanita yang tidak suci memiliki kecenderungan berhubungan seks dan telah membolehkan

b. Wanita yang pernah berhubungan seks kurang kredibel dijadikan saksi

c. Wanita yang tidak suci “berhak” diperkosa dan tidak “layak” diintervensi oleh sistem peradilan pidana.

d. Kekerasan dibenarkan untuk mengendalikan perzinahan atau mendapatkan kembali pengendalian seksual

2. Stereotype: “Wanita harus berpakaian dan berperilaku sopan”

Asumsi: “Wanita harus berpakaian dan berperilaku untuk menghindarkan ketidakpantasan, kesopanan, terutama agar tidak merangsang kaum pria” Kesimpulan (tentang seseorang):

a. Wanita yang tidak sopan "memprovo kasi" penyeranggan seksual dan harus disalahkan.

b. Wanita yang tidak sopan menjadi saksi yang kurang kredibel.

3. Stereotype: “Pria adalah/ harus menjadi kepala keluarga”


Asumsi: “Pria memegang kekuasaan tertinggi dalam hubungan antar pribadi dan keluarga, sedangkan wanita dibawahnya.”

a. Seorang pria boleh menggunakan kekerasan untuk mendisplinkan isterinya jika ia tidak patuh kepadanya.

b. Seorang pria boleh menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mempertahan kan kekuasaan dalam pernikahan dan hubungan keluarga.

c. Keinginan seorang pria (yang menggunakan kekerasan) harus diprioritaskan dibandingkan isteri dan anak-anak mereka, termasuk dalam proses peradilan (contoh proses penentuan perlindungan anak).

Stereotipe dan mitos merupakan bagian dari diskriminasi terhadap perempuan. Stereotipe dan Mitos ini dalam praktiknya kerap dilakukan aparat penegak hukum tidak hanya hakim namun juga polisi dan jaksa ketika menangani kasus perempuan korban.

Pentingnya pemahaman mengenai substansi gender stereotyping termasuk pengetahuan akan mitos dan fakta yang ada di masyarakat dijadikan salah satu bahan utama dalam pelatihan bahkan dibuatkan modul tersendiri mengenai ini. Penting dimulai memasukkan substansi tersebut dalam pendidikan dan pelatihan aparat penegak hukum seperti pada pendidikan dan latihan bagi polisi, jaksa, hakim, dan juga petugas pemasyarakatan agar pemahaman tersebut timbul sejak dini.

×
Berita Terbaru Update