Dinamika Putusan MK
kita memang sebagai rakyat selalu saja di kejutkan dengan berbagai putusan dan kebijakan yang sama sekali urgensinya tidak memberikan dampak kemaslahatan, dan bagi keberlangsungan hidup rakyat yang sampai saat ini masih di anggap sebagai ruang ruang untuk meraup suara dan kekuasaan.
demokrasi kita sampai saat ini memang belum menunjukan perubahan yang signfikan, hal ini termasuk tanggung jawab elit pimpinan partai politik, yang notabene mereka dulunya juga sebagai aktivis dan mahasiswa. salah satu hal yang menjadi penyebab runtuhnya demokrasi, dan rendahnya kualitas pemimpin yang di lahirkan oleh pemilihan umum, adalah maraknya money politik, sebab money politik ini mengakibatkan melambungnya cost politik, hal ini tentunya berimplikasi pada rendahnya kualitas pemimpin, lalu sebenarnya siapa yang salah, rakyat yang menerima, yang memberi, dan yang seakan melegalisasi.
Aksi DPRD Jabar |
salah satu contoh daerah/kabupaten dengan money politik tertinggi ada di bandung barat, salah satu kabupaten hasil pemekaran dari kab bandung, pantas saja jika kabupaten bandung barat, di anggap sebagai kabupaten dengan daerah tinggi money politik, hal ini di tandai dengan beberapa kali pejabat eksekutif nya di tanggak KPK.
lagi- lagi persoalan tinggi nya money politik di bandung barat, salah satunya, karena hampir calon calon eksekutif di bandung barat, merupakan hasil kawin silang elit pimpinan parpol, yang hanya mengandalkan popularitas, dan money, sehingga memang dinamika di bandung barat sangat mengerikan, karena ya begitu uang adalah perhitungan sebenarnya dalam pilkada.
alih alih borong kekuasaan dan koalisi sehingga warga asli bandung barat, nyaris tidak pernah di lirik oleh partai partai yang mempunyai kursi parlemen, misalnya ada Kang asep Ilyas, asep ismail, dan calon lain nya, yang notabene mereka warga asli pituin bandung barat, namun mereka hampir saja tidak jadi mencalonkan, karena ada aksi borong koaliasi, oleh partai pendukung elit ( KIM).
dengan hadirnya putusan MK, yang di ajukan JR oleh partai Buruh dan Gelora, membuka kembali keran keran kesempatan untuk mencalonkan menjadi calon kepala daerah, MK telah memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait. Putusan itu termuat dalam putusan MK 60/PUU-XXII/2024. Dalam putusan lain yakni 70/PUU-XXII/2024, MK juga telah menetapkan batas usia calon kepala daerah minimal 30 tahun saat penetapan calon oleh KPU.
MK telah menurunkan ambang batas yang mulanya 25 % menjadi lebih rendah di sesuaikan dengan jumlah suara sah partai politik atau gabungan partai politik dengan jumlah DPT di masing- masing daerah.
namun ternyata keputusan MK yang sifatnya harus di patuhi dan mengikat itu, rupanya sedang di akali oleh skandal elit partai politik, DPR, dan Juga Pemerintah, hasil keputusan langsung di sikapi oleh baleg DPR, namun sikap mereka bukan untuk mengikuti putusan MK, namun justru di sinyalir untuk menganulir putusan MK, sehingga munculah protes dan Aksi masa yang di lakukan oleh mahasiswa, rakyat, pakar hukum, dan elemen lain nya.
munculnya gerakan aksi masa di berbagai daerah bukan tanpa sebab, penyebabnya atas pembangkangan dan pengkhiatan DPR, pemerintah terhadap Konstitusi MK, dan tentunya disinyalir agar menguntungkan putra mahkota presiden Joko Widodo.